Sekaten di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Malid Adat di Bayan

Administrator 03 Desember 2017 08:14:20 WIB

Tulisan ini akan berbicara mengenai perbandingan Sekaten di Jogja dan Maulid adat di Bayan. Berbicara mengenai hal ini tentu akan memunculkan terma Kejawen dan Wetu Telu. Oleh karena itu sebelum membahas lebih jauh saya ingin menegaskan bahwa, Wetu Telu dan Kejawen merupakan dua hal yang berbeda Karena keduanya tumbuh dalam konteks Sosio-kultural yang berbeda.
Namun bukan berarti keduanya tidak memiliki relasi, terlebih dalam posisinya sebagai "Islam lokal". Relasi ini bisa mengantarkan kita kepada bagaimana atau dari mana Islam Lombok disebarkan atau bisa juga sebaliknya. Pada titik inilah kemudian kemungkinan adanya celah untuk menemukan benang merah antar keduanya.

Sama halnya dengan penelitian sebelumnya di Lombok, saya menjadikan maulid adat sebagai 'indikator' praktek Wetu Telu. Baik dalam konteks eksistensi Wetu Telu disebuah desa ataupun keterkaitan anasir Wetu Telu di desa desa yang menjadi tempat penelitian saya.

Agaknya ‘indikator’ ini bisa juga digunakan untuk melihat relasi yang ada antara “dua Islam” ini yang satunya berada di Pulau Jawa dan satunya lagi di Pulau Lombok. Rupanya ada banyak hal yang menunjukkan kemiripan satu sama lain antara “maulid versi Kejawen” dan “maulid versi Wetu Telu”.

Posisi dan pelaksanaan Maulid:

Maulid merupakan salah satu ritual tahunan yang “wajib” dilaksanakan di kedua tempat. Pelaksanaannya pun meriah dengan rangkaian acara yang panjang.

Pelaksanaan maulid di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dilaksanakan pada tanggal 6 Rabiul awal hingga 12 Rabiul awal. Atau kurang lebih selama satu minggu. Sedangkan di Bayan pelaksanaanya selama 3 Hari 4 Malam. Dimulai tanggal 15-17 Rabiul awal atau 3 hari setelah kelahiran Nabi.

Meski dari segi hari “Maulid Kejawen” lebih banyak namun dari segi ritual sebaliknya. Di Yogya terdapat ‘jeda ritual’ dari hari pertama sampai puncak. Sedangkan di Bayan prosesi dilakukan full selama hari yang telah ditentukan.

Penanda Maulid:

Baik maulid adat di Jogja maupun di Bayan, pelaksanaan awal dimulai pada malam hari. Namun dengan penanda yang berbeda.

Di Jawa, maulid adat ditandai dengan proses pemindahan seperangkat Gamelan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menuju ke Masjid Gede Kauman. Dan setelah itu Gamelan dimainkan sebagai simbol penanda maulid telah dilaksanakan.

Sedangkan di Bayan, Maulid yang menjadi penanda adalah penumbukan padi. Menariknya penumbukan padi ini harus dilakuksan secara berturut-turut. Penubukan pada harus pertama kali dilakukan di Rumah Adat Kiai Agung setelah itu baru boleh disusul oleh dusun-dusun lain di seantero Bayan Beleq.

Kedua ‘penanda maulid’ ini dilakukan pada malam hari.

Alat Musik Pengiring

Meski tak sekompleks gamelan Jawa, Bayan juga memainkan 'gamelan' yang akan menjadi pengiring pelaksanaan maulid adat. Kesamaan alat musik ini kemudian lebih khusus lagi dalam hal ‘gong’, Baik di Sekaten ataupun Maulid Adat gong memiliki posisi yang sentral dibanding dengan alat musik lainnya. Di Bayan gong maulid ini di sebut Gerantung. Sedangkan di Jogja terdapat dua gong yang disebut (bernama) Kyai Gunturmadu dan Kiyai Nagawilaga.
Mengingat alat musik (gong) ini merupakan hal yang disakralkan maka pengambilannya pun melalui upcara. Untuk sekaten terdapat prosesi meyos gangsa, yakni pemindahan gamelan dari Keraton menuju ke Masjid Gede Kauman yang dilakukan pada malam hari. Prosesi ini melibatkan para abdi dalem dan juga prajurit-prajurit keraton. Setelah sampai di masjid gamelan akan diletakkan di Pogongan Kidul dan lor (depan masjid keraton). Setelah itu gamelan ini akan dimainkan selama prosesi sekaten berlangsung, kurang lebih satu minggu.
Sedangkan di Bayan pengambilan gerantung dilakukan pada pagi hari yang diambil dari rumah adat Bayan Barat ke Rumah adat Karang Bajo yang nantinya akan dibawa ke Masjid Bayan Beleq. Menariknya, yang boleh melaksanakan ritual pengambilan gerantung ini hanya dari dua dusun terkait. Dalam konteks yang lebih luas masing-masing dusun di Bayan memiliki peran dan fungsi spesifik dalam hal-hal ritual adat.

Makanan:
Saya rasa hampir di setiap daerah terdapat makanan ‘khas’ dalam setiap perayaan hari besar Islam termasuk dalam maulid itu sendiri. Baik di Sekaten maupun Maulid adat terdapat makanan khas yang hadir dalam perayaan maulid.
Di Jogjga terdapat nasi gurih sedangkan di Bayan terdapat ancak. Dari segi bentuk dan penyajian sangat mirip namun berbeda dari segi waktu dan siapa yang boleh menyajikannya. Di Sekaten nasi gurih disajikan oleh Abdi Dalem Keparak yang berjenis kelamin perempuan. Sedangkan di Bayan ancak disajikan oleh masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki (sebetulnya wanit juga berperan penting dalam perayaan maulid namun untuk penyajian ancak khusus dilakukan laki-laki).
Terkait dengan waktu, nasi gurih disajikan di awal rituak maulid sedangkan di Bayan nasi ancak disajikan di hari puncak dan akan dimakan bersama-sama di dalam masjid Bayan Beleq.
Tambahan: dalam perayaan maulid secara umum di Lombok, terdapat makan yang disebut RASUN. Makanan ini sangat identik dengan perayaan maulid di Lombok.

Puncak perayaan Maulid:
Di Sekaten yang menjadi puncak perayaan maulid adalah adanya Gunungan untuk masyarakat. Gunungan ini dibawa dari Keraton menuju masjid untuk ‘diberkati atau didoakan oleh pemangku agama keraton. Baru kemudian dibagikan atau tepatnya diperebutkan oleh masyarakat. Khusus untuk tahun Dal (8 tahun sekali) terdapat gunungan bromo yang khusus untuk kalangan keraton. Sehingga setelah didoakan di masjid, gunungan tersebut dibawa pulang ke keraton. Sedangkan gunungan yang lain bebas untuk masyarakat. Gunungan ini dipercaya akan memberikan berkah bagi siapapun yang mampu mendapatkannya. Itulah mengapa ditengah keramaian, banyak masyarakat yang nekat untuk mendapatkannya.
Sedangkan di Bayan, puncak maulid adat adalah prosesi Praja Maulid yang bisa diartikan sebagai simbolisasi percampuran antara adam dan hawa. Dari Rumah adat Bayan Barat, para peserta praja akan beriringan menuju masjid kuno.

Kesimpulan
Dua kata dapat menjadi kesimpulan dalam hal perayaan maulid di kedua tempat yakni SYIAR ISLAM. Prosesi ini hemat saya, tidak lain dan tidak bukan adalah bagian dari dakwah. Artinya kemudian Islam hadir dan menghadirkan diri (Salah satunya) melalui simbol kultural itu sendiri. Sehingga ia mudah diterima oleh masyarakat. Jika hari ini saja mampu menyedot ribuan orang untuk berkumpul apalagi di masa lalu yang notabeni ‘hiburan’ masih sangat sedikit. Melalui hal semacam inilah inilah kemudian Islam di masa lalu dapat menjangkau banyak orang. Itu sebabnya, kita perlu memahami hal semacam ini berdasarkan konteksnya, jika tidak kita akan gagap dalam memahami praktik lokal itu sendiri. Selebihnya mari kita bersama-sama bersholawat atas penyelamat kita sang nabi pembebas.

Allohumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad.

By:Rifky M.

Komentar atas Sekaten di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Malid Adat di Bayan

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
 

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Jumlah Pengunjung

Lokasi BAYAN

tampilkan dalam peta lebih besar